Forum Ngopi Bareng Session 9 | Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim, Khususnya Kekeringan
El Nino dan La Nina merupakan fenomena alam yang harus di hadapi. |
Seperti biasa diskusi ‘ngopi bareng’ di grup WA 3G O menjadi moment menarik, karena selain berbagi pengalaman tentu saja juga menambah ilmu, khusus nya pertanian berbasis organik maupun peternakan. Tema forum ngopi bareng sesion 9 adalah ‘Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim, Khususnya Kekeringan’, dan Prof. Dedi Nursyamsi masih menjadi narasumbernya. Yang kita diskusikan adalah bagaimana menghadapi perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan extrim atau gelombang panas, khususnya bagi para petani ? Mengingat beberapa tahun belakangan ini di beberapa negara bahkan Indonesia sendirii mendapat dampak dari cuaca yang cukup ekstrim, banjir, tanah longsor, badai dan sebagainya. Tentu saja dari semua itu berdampak terhadap volume panen hasil pertanian.
Emisi gas rumah kaca (co2 ch4 n2o) merupakan penyumbang terbesar terjadinya pemanasan global. Inilah yang menyebabkan Climate Change = Perubahan Iklim. Dampak dari Perubahan Iklim (PI) adalah permukaan laut naik karena mencairnya es di kutub, iklim ekstrim semakin meningkat baik frekuensinya maupun kualitasnya, curah hujan tidak menentu, hama penyakit membludak karena predatornya mati akibat dampak dari PI. Semua itu berdampak terhadap kehidupan mahluk hidup termasuk manusia. Oleh karena itu kita harus beradaptasi terhadap PI dan juga berupaya untuk mengendalikan atau mitigasi PI dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Salah satu dampak PI adalah Elnino dan Lanina yang semakin sering dan kuat, bahkan akibat elnino atau kemarau panjang beberapa negara mengalami situasi politik yang tidak kondusif seperti Uni Sovyet dan beberapa negara seperti Etiopia bahkan di Indonesia sendiri pernah mengalami situasi tersebut yang bermula dari langka dan mahalnya harga bahan pokok (beras) di tahun 60-an dan kembali terjadi di rentang tahun 1997 . Semua itu tidak lain adalah akibat dari krisis pangan lalu krisis sosial ekonomi politik dll. Sebagai ‘soko guru negeri’ maka kita sebagai petani berkewajiban mempersiapkan dan mengurangi dampak GRK.
Untuk menurunkan emisi GRK ada beberapa cara atau pun teknologi seperti yang di tuturkan oleh prof Dedi Nursyamsi, “Di sektor pertanian yang menghasilkan emisi GRK adalah sawah karena tergenang air sedangkan dari sektor peternakan yaitu sendawa ternak dan kotorannya yang menumpuk, untuk itu perlu di lakukan penanganan sehingga dapat mengurangi GRK.”
Adapun teknologi untuk menurunkan atau mitigasi GRK adalah :
Adapun teknologi untuk menurunkan atau mitigasi GRK adalah :
Sektor Pertanian
- Menggunakan varietas rendah emisi.
- Air macak - macak atau irigasi berselang (intermittent).
- Ameliorasi dengan bahan mitigator SOT kompos matang, abu merapi dll.
Dalam pemilihan varietas, Prof Dedi Nursyamsi menyarankan untuk menggunakan varietas padi rendah emisi yaitu varietas yang mengemisikan gas ch4 rendah seperti ciherang, martspura dll,karena varietas tersebut memiliki umur yang pendek sehingga emisinya lebih rendah dari varietas berumur panjang.
Kalau terjadi elnino atau kemarau panjang maka:
Lalu berapa volume ideal per hektar untuk pemakaian abu vulkanik atau batuan kapur sejenis zeolit, dolomit dan lain-lain ?
Kalau terjadi elnino atau kemarau panjang maka:
- Gunakan varietas tahan kekeringan seperti impago amfibi dll
- Cari sumber air untuk irigasi suplemen, air permukaan seperti air sungai itu mudah dan murah.
- Konservasi air dengan biopore, biochar, kompos, zeol
Setiap upaya mempertahankan carbon dalam bentuk padatan (kompos dsb) itu namanya carbon sequestration alias menurunkan carfan dalam bentuk gas seperti GRK. Abu vulkanik baik untuk mengurangi emisi di tanah gambut dan juga dapat meningkatkan produksi jagung hingga 30persen, penggunaan abu vulkanik di tanah gambut 1 t/ha. Kapur dolomit dan lain-lain tergantung tanahnya. Bila tanah masam 1-2 t/ha untuk jagung atau kedelai. Zeolit biochar bisa tingkatkan kapasitas tukar kation tanah dan daya pegang air. Baik digunakan di tanah masam atau daerah ch rendah
Sektor Peternakan
Gunakan SITT (sistem integrasi tanaman-ternak). Kohe masukan ke biodigester, gas metan gunakan untuk masak, limbah padat kembalikan ke sawah, jerami padi kembalikan ke ternak untuk pakan dan seterusnya.
Salah satu contoh dari sektor peternakan yaitu tehnologi supergrowth, dimana kohe ternak yang keluar tidak berbau dan sudah terfermentasi, dengan demikian sudah bisa mengurangi emisi GRK. Kohe atau kompos yg matang emisinya rendah, segera masukan ke tanah agar menjadi carbon sequestration.
Dari tim riset 3G O, kohe yang ternaknya menggunakan supergrowth, new inokulan, dalam waktu 3 hari kohenya langsung bisa diaplikasikan ke lahan tanpa perlakuan lagi, artinya kohe sudah siap menjadi pupuk organik yang sudah terurai.
Salah satu contoh dari sektor peternakan yaitu tehnologi supergrowth, dimana kohe ternak yang keluar tidak berbau dan sudah terfermentasi, dengan demikian sudah bisa mengurangi emisi GRK. Kohe atau kompos yg matang emisinya rendah, segera masukan ke tanah agar menjadi carbon sequestration.
Dari tim riset 3G O, kohe yang ternaknya menggunakan supergrowth, new inokulan, dalam waktu 3 hari kohenya langsung bisa diaplikasikan ke lahan tanpa perlakuan lagi, artinya kohe sudah siap menjadi pupuk organik yang sudah terurai.
Penanganan Tanah Retak
Tanah retak merupakan dampak dari kurangnya air, sehingga kelembapan lahan tidak terjaga, untuk itu gunakan kompos yang banyak atau biochar. Kompos dan biochar mampu pegang air 3-10 kali berat dirinya sendiri. Dengan demikian kemungkinan besar tanah tetap lembab dan tidak retak
Untuk itu penggunaan kompos/pupuk organik dengan pupuk kimia bila belum bisa organik full harus seimbang. Kompos untuk mempertahankan kelembaban, struktur dan tekstur juga untuk hidupnya mikroba-mikroba tanah. Saat ini sudah banyak petani yang mulai menggunakan pupuk organik, sebelumnya mereka ketergantungan dengan pupuk kimia.
Untuk itu penggunaan kompos/pupuk organik dengan pupuk kimia bila belum bisa organik full harus seimbang. Kompos untuk mempertahankan kelembaban, struktur dan tekstur juga untuk hidupnya mikroba-mikroba tanah. Saat ini sudah banyak petani yang mulai menggunakan pupuk organik, sebelumnya mereka ketergantungan dengan pupuk kimia.
Jerami Di Sawah Apakah Harus Di Bakar / Di Buang ?
Di beberapa daerah di Indonesia sebagian besar petani enggan atau kurang tahu untuk menjadikan jerami sebagai dekomposer sehingga kebanyakan dari mereka membuang atau membakar jerami tanpa mengindahkan unsur K yang terdapat pada jerami jika di gunakan sebagai pupuk organik.
Untuk menggunakan jerami sebagai dekomposer langsung di sawah, jerami terlebih dulu di tumpuk agar udara dan air seimbang, singkatnya jerami tidak perlu dibawa ke luar, akan lebih baik kalau jerami tersebut disiram terlebih dahulu kemudian ditutup (terpal) agar tidak kepanasan, supaya mikrobanya tidak mati, dengan demikian maka pengomposan lebih cepat 1 – 2 minggu dan saat pengolahan tanah kompos langsung di aduk dengan tanah.
Selain mengupas tentang hal diatas, pada kesempatan ngopi bareng beberapa anggota grup juga mengajukan beberapa pertanyaan :
Adapun manfaat dari jerami adalah sebagai berikut :
- Memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, agregat dll.
- Meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
- Sebagai sumber hara terutama kalium.
- Berfungsi memegang air terutama saat kemarau.
- Kalau jerami dibuang atau dibakar sangat rugi karena justru dapat meningkatkan emisi GRK, selain itu sayang kan membuang pupuk organik begitu saja, dan sisa pembakaran dapat mencemari badan air karena abunya mudah hanyut/mengambang.
Untuk menggunakan jerami sebagai dekomposer langsung di sawah, jerami terlebih dulu di tumpuk agar udara dan air seimbang, singkatnya jerami tidak perlu dibawa ke luar, akan lebih baik kalau jerami tersebut disiram terlebih dahulu kemudian ditutup (terpal) agar tidak kepanasan, supaya mikrobanya tidak mati, dengan demikian maka pengomposan lebih cepat 1 – 2 minggu dan saat pengolahan tanah kompos langsung di aduk dengan tanah.
Pengomposan jerami di lahan, jerami sudah disemprot dengan dekomposer. Tinggal ditabur setelah terurai. Untuk musim tanam setelah padi/palawija. |
Pembuatan biochar (arang) untuk konservasi air. |
Menggunakan metode pembakaran tidak sempurna dengan bahan bisa menggunakan tongkol jagung dll. |
Selain mengupas tentang hal diatas, pada kesempatan ngopi bareng beberapa anggota grup juga mengajukan beberapa pertanyaan :
- Tanya : “Pemasangan mulsa dilahan pertanian dan green house yang atapnya dari plastik itu bagaimana Prof?”
- Jawab : “Mulsa dapat mengurangi penguapan, ini termasuk teknik konservasi air dan juga menekan gulma. Atap plastik bisa mengurangi OPT dan juga meningkatkan fotosintesis sehingga produksi meningkat.Kalau mulsanya dari limbah biomas akan lebih baik lagi karena setelah lapuk akan menjadi pupuk organik.”
- Tanya : “Mohon petunjuk prof kalau kita, kompos dari limbah biogas langsung di tanam dlm tanah dengan jarak 1.5 m dari pohon, apakah efektif juga dalam menghadapi kemarau prof ?”.
- Jawab : “Ya tergantung tanamannya, yang penting dekat dengan zona perakaran. Kalau pohon mangga 1.5 meter ok, jangan lupa dosisnya 1-2 t/ha dan benamkan ke dalam tanah.”
- Tanya : “Terus kalau sekitar pohon di siram asamgumid setelah itu ditutup dengan jerami yang sudah lapuk boleh apa tidak prof, apa ada dampaknya ?”.
- Jawab : “Itu baik, sebetulnya pelapukan jerami juga menghasilkan humic acid, yang penting campurkan dengan tanah agar manfaatnya maksimal.”
“Mudah - mudahan diskusi di ngopi bareng bermanfaat untuk semuanya, menambah wawasan dan dapat mempersiapkan kita menghadapi el nino dan la nina, perubahan iklim extrim. Sebagai penyuluh, praktisi dan petani, bisa saling mengingatkan sedulur tani kita untuk bertani secara bijak dan ramah lingkungan dengan mencoba cara-cara yang bisa mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sehingga tidak menambah panasnya bumi, mengingat sudah banyak pohon-pohon besar yang ditebang.” itulah kata penutup diskusi ‘ngopi bareng’ yang di sampaikan oleh bu Eny.
Komentar
Posting Komentar